Kamis, 09 September 2010

Bintang Jatuh

Langit gelap. Awan hitam berkerumun menutupi cahaya bintang. Lampu-lampu kota berbelas kasih menyinari jalan. Sekaligus memantulkan sinarnya di kaca-kaca gedung tinggi. Kunang-kunang jalanan masih setia menyusuri aspal. Sesekali berdenyit-pekik melalui klaksonnya. Jam kota berdenting delapan kali. Mengingatkan para pejalan kaki untuk segera kembali ke sarangnya. Menyadarkan anjing-anjing hitam untuk ganti bersiaga.

Terkecuali aku dan Ayesha yang masih berjalan di bawah langit mendung. Melangkah tanpa arah ditengah perbincangan.  Mencari tempat nyaman dan menemukan suasana yang hangat untuk saling mencurahkan rasa yang tertimbun dihati. Kini giliranku untuk mendengarkan isi benaknya. Semua yang diceritakannya selalu sama. Berulang kali ia menjelaskan satu hal itu.

"Indah, aku kesepian," Ucapnya lemah.

Aku selalu tak tega setiap kali aku mendengar Ayesha berpeluh. Kehidupannya jauh berbeda dari orang-orang yang seperti biasanya. Penderitaan yang dipikulnya sejak kecil membuat dirinya memiliki kelainan psikis dan rasa putus asa yang bergejolak. Jiwanya redup. Itu yang bisa kurasakan ketika aku pertama kali melihat dirinya. Huft, pikiranku kembali melayang pada kejadian tak lama itu.

***

Disaat itu, di hari pertama aku bersekolah di SMK Tunas Bangsa, aku mencoba berkenalan dengan teman-teman baru di kelas. Kujabati satu persatu orang disana sambil menerima banyak senyuman yang dilemparkan ke bola mataku. Terkecuali Ayesha yang hanya berdiam diri di bangkunya dengan pandangan yang sangat kosong. Aku mencoba menghampirinya, lalu memamerkan sebuah senyuman lebar.

Ia membalas senyuman ku. Tapi aku merasakan hal yang lain dari dirinya. Aku merasakan kepahitan dibalik senyumannya. Tatapan matanya pun lemah tak bergairah, lunglai tanpa semangat. Disitulah aku merasakan kehancuran dalam dirinya yang terdapat suasana kekacauan dan berantakan. Menyimpan dendam yang berkepanjangan. Seolah terdapat api-api yang membakar semua kebahagiaannya.

Hubunganku dengannya pun tak berkembang begitu baik. Aku selalu kehilangan kekariban dengan dirinya. Ia selalu menyendiri disetiap harinya. Wajahnya selalu terlihat murung ditengah lamunannya. Sama sekali tidak ada keceriaan. Aku sangat prihatin akan keadaannya.

Beberapa minggu kemudian, aku meniatkan diriku untuk menemani Ayesha dengan maksud untuk mencoba memberikan hiburan. Mencoba memompa naik keceriaannya. Tepat disaat jam istirahat, aku menemukan dirinya yang telah menyendiri dan tengah berdiri memandang atap-atap rumah dari lantai atas sambil mengenakan earphone setianya. Mataku sudah terasa basah sebelum menyapanya. Aku tak tahan melihat orang menderita.

"Ayesha!" Aku menyapanya dari belakang sambil mencolek punggungnya.
"Eh.. Indah." Balasnya memanggil namaku.

Aku menyejajarkan tubuhku dan berdiri disampingnya. Kulihat kembali senyuman Ayesha yang penuh kepahitan dibaliknya itu. Ah.. Tak apalah. Yang penting ia merasa senang bersamaku. Yang kini kufokuskan adalah bagaimana caranya untuk membuatnya tertawa.

"Kamu sedang apa disini? Sendirian lagi. Apa kamu punya masalah? Maaf kalau sekiranya aku ingin tau urusanmu. Tapi mungkin aku bisa ngebantu kamu, Yesh." Ucapku dengan suara lunak.

Namun Ayesha hanya terdiam. Pandangan matanya masih tergeletak diantara atap dan pepohonan. Aku ikut terdiam cukup lama. Sepertinya aku salah untuk larut dalam urusannya. Namun aku tak menyerah untuk membuatnya ceria. Aku akan tetap mencoba untuk memaksanya bergembira.

"Seandainya kamu punya masalah, kamu harus menceritakan permasalahanmu itu kepada seseorang. Mungkin orang lain akan ngebantu kamu untuk keluar dari masalah itu. Kamu nggak boleh tenggelam dalam masalah. Kamu harus bisa ngelakuin yang terbaik." Aku menyemangati. Kuharap kata-kataku bisa menjadi sayap pengunggah rasa percaya dirinya.

Namun upayaku itu kembali sia-sia Ayesha terus membisu. Aku jadi sedikit tak jenak bila diperlakukan seperti ini. Kuharap aku tidak benar-benar dianggap sebagai tembok.

"Yesh..Yesh.." Panggilku sambil menepuk-nepuk punggungnya.
"Eh.. Iya, Ndah.. Kenapa? Tadi kamu ngomong apa? Ma..maaf tadi nggak kedengeran soalnya keasyikan dengerin musik."

Gubraakk... Aku menyadari ketololanku. Seharusnya aku merebut sumbatan telinga beserta MP3 nya terlebih dahulu. Kayak orang gila yang berbicara sendiri. Aku malu mengingatnya. Aku juga malu mengulang kembali perkataanku tadi kepada Ayesha. Ah, Sudahlah.. Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk mengetahui kehidupannya. Sesekali mengeles juga tak apa.

"Enggak. Cuma mau tau kamu lagi dengerin musik apa. Boleh kupinjam?" Kataku mengelak
"Boleh. Nih.." Ucapnya lembut sembari mengulurkan earphone nya.
Kuletakan benda itu ditelingaku.

%@$#!@&@#$

"Aikh... Apa ini...!!?"

Aku langsung mencopotnya dari telingaku. Kupingku pengang dan mengiang-ngiang cukup kencang. Setelah musik yang kudengar adalah musik 'ROCK'. Serasa gendang telingaku pecah diterobos oleh teriakan vokal yang menghancurkan itu. Irama yang tak beraturan pun memporak-porandakan debaran jantungku.

Ayesha mengakak panjang menontoni keanehanku yang sedang mengusap-usap telinga. Bahkan tawanya lebih nyaring daripada yang kupikirkan. Atau bahkan lebih tepatnya menggelegar. Ajaib sekali. Aku membuatnya tertawa dari unsur ketidak sengajaan. Dan misi pertamaku berhasil walau ada rasa kesal juga dalam hati. Dua-kosong, Yesh. Kamu unggul.

"Kamu suka musik rock, Yesh? Nggak salah?" Tanyaku heran.
"Iya aku suka banget. Dan bukan sekedar rock. Tapi punk rock. Semua musik di MP3 ku genrenya punk rock. Kenapa emang, Ndah?"

Aku menggeleng-geleng hampir pingsan setelah mendengar pengakuan kecintaannya terhadap musik rock. Baru kali ini aku menemukan perempuan yang begitu doyan dengan musik serabutan itu. Apalagi wajahnya sangat cantik. Sangat tidak cocok bagi Ayesha untuk memungut selera itu.

Berbeda jauh dengan seleraku yang menyukai seriosa. Mana pernah aku secara sengaja mendengarkan musik jingkrak-jingkrakan dengan personil-personilnya yang berdandan serba acak-acakan, sekalipun dalam televisi.

"Emang apa bagusnya sih musik rock itu? Aku sama sekali enggak menikmatinya. Lagian, itu kan salah satu wujud perilaku yang enggak sopan. Hampir mirip icon orang yang rumahnya dijalanan." Ucapku seenaknya. Rasanya aku menyinggung berat para fans Jamrud.

"Punk rock itu bukan pencerminan ketidak santunan, Yesh. Aku suka punk rock karna itu sebuah wujud untuk menggambarkan keterbatasan dan keserbakurangan. Dalam arti lain, Punk Rock adalah sebuah apresiasi kemiskinan dalam hidup." Ujarnya kepadaku.

Tapi rasanya aneh. kelihatannya Ayesha bukanlah ciri-ciri orang yang memiliki keterbatasan dan keserbakurangan. Penampilannya pun juga tak bisa dibilang selera rendahan. Wajahnya cantik dengan hiasan kosmetik berkualitas. Rambutnya lurus terawat seperti model bintang iklan sampo. Black Berry, MP3, sweater distro juga selalu disandangnya. Pikiranku terus berputar-putar tentang apa miskinnya dia, karna apa dia menyukai musik rock, dan karna apa dia selalu menyendiri.

Semua pertanyaan itu mulai terjawab ketika aku sudah satu semester mengenal dia. Dihari itu, tepat ketika Ayesha berulang tahun. Aku dan Ayesha membuat perayaan kecil-kecilan dengan makan siang berdua di Mac. Menyedihkan sekali. Yang ingat hari lahirnya cuma aku.

"Kamu mau kado apa, Yesh? Aku bingung milih kado apa yang cocok buat kamu."
"Ngg.. Apa ya.. Aku juga bingung."
"Sesuatu yang paling kamu inginkan deh."
"Yang kuinginkan ya... Ehm... Aku ingin berbaring di pangkuan ayah dan bunda sambil memandangi langit biru, Ndah."
"Hah..?" Aku terheran. Mataku menyelidik dan mulutku terbuka. Keningku mengerut tak mengerti.

"Maksud kamu apa, Yesh?" Tanyaku lagi.
"Ya. Aku ingin sekali bisa berkumpul bersama orang tua layaknya kamu yang masih punya orang tua. Sejak kecil aku udah ditinggal mereka. Aku yatim-piatu, Ndah."

Aku terhenyak. Dadaku terasa sesak dan jiwaku tercambuk hebat. Sungguh. Aku merasakan kepedihan mendalam dari semua kenyataan yang ia terima. Kondisinya memprihatian, cerita hidup yang selama ini ia jalani selalu berasa pahit tanpa adanya kasih sayang dari ibu dan ayah.

Ayesha si gadis rapuh selalu merasa dirinya sebatangkara. Tidak memiliki siapapun dalam keluarganya. Rumah dan mobil mewah memang Ayesha miliki sekarang. Tapi satu yang belum pernah ia dapatkan dari salah satu nikmat hidup adalah merasakan cinta dari orang tua kandungnya sendiri.

Itulah yang membuat Ayesha tampak murung dan kesepian. Sebuah penderitaan yang ia rasakan sepanjang hidupnya masih membekas dalam hingga sekarang. Bahkan penderitaan itu terus merembet dengan timbulnya penderitaan-penderitaan lain yang selalu berdatangan. Hidup terasa ketir dan hambar. Itu pengungkapan yang pernah kudengar dari keluhannya.

Dan dadaku semakin tertusuk ketika aku mengajaknya berhenti sejenak untuk memenuhi panggilan solat dzuhur diselang waktu jalan-jalan. Saat itu Ayesha menolak ajakanku dengan wajah penuh malu.

"Aku nggak tau caranya sholat, Ndah."

Rasanya aku hampir mati mendengar untaian kalimat mencambukan itu. Jantungku serasa teriris sebilah pedang tajam. Benar-benar memprihatinkan. Diusianya yang mulai dewasa ini Ayesha masih harus terlelap dalam gelapnya hidup tanpa agama. Dengan rasa hati yang penuh goresan, aku menyadari kemiskinan yang ia miliki dalam dirinya. Ia miskin akhlak dan pendidikan.

Semuanya disebabkan oleh masa kecil Ayesha yang tidak sempat diberikan tuntunan agama oleh orang tuanya. Hingga kini ia buta akan pendidikan, jauh dari prinsip kerohanian. Inilah sebuah kenyataan yang tersirat dibalik cermin. Ia buta meski matanya melihat, ia miskin meski hartanya melimpah, jiwanya redup meski wajahnya selalu cantik dengan senyuman manis diantara deretan giginya yang putih.

Ayesha si gadis berhati kacau dengan kebimbangannya dalam mencari jalan bersama kegelishan yang kian bermunculan, tidak selesai sampai disitu. Ia masih menyimpan dendam, sama seperti yang aku rasakan pada saat pertama kali aku melihatnya. Dan itu aku ketahui seiring berjalannya waktu aku mengenalnya. Ketika aku semakin dekat dengannya. Ketika aku menjadi satu-satunya orang yang menjadi sandaran hangat sebagai wadah tangisannya. Ketika hanya aku sahabat yang seharusnya selalu setia mendampinginya untuk memadamkan kesedihan dan mengurangi rasa kesendiriannya. Dari situ aku mulai membaca kehidupannya.

Disaat itu aku dan Ayesha tengah berjalan menuju kantin sekolah. Namun langkah kami terhenti ketika beberapa siswi kelas XII yang menjadi kumpulan dalam salah satu gap yang terkenal akan personil-personilnya yang cantik menghadang langkah kami. Aku dan Ayesha pun heran. Tak tahu apa yang sudah dan yang akan terhadi. Melihat raut wajah dari mereka terpajang garang dan jauh dari ramah.

Ketua gap yang bernama Frisca itu tiba-tiba merenggut rambut Ayesha dan menjambaknya. Secara spontan Ayesha meraung kesakitan dan langsung mengibaskan tangannya.
"Maksud lu apa jambak-jambak gue!!?" Meledak emosi Ayesha menggusar.
"Alaa.. Jangan belagak bego deh lo! Lo udah ngerebut cowo gue juga. Gue ingetin ya, jangan deketin dia atau lo bakalan kena akibatnya." Kecam Frisca dengan bengisnya.

Apa lagi ini!!? Tiba-tiba saja Ayesha menjadi pelampiasan amukan Frisca. Dalam hati aku ingin sekali membela Ayesha, sahabatku, yang kini tengah berada dalam masa sulitnya. Memang, banyak lelaki yang melirik Ayesha, termasuk Ardi, cowoknya Frisca, ketua ekskul basket di sekolah. Tapi sungguh, Ayesha sama sekali tidak menghiraukan rayuan mereka. Karena ku juga tahu, rasa cinta yang Ayesha miliki masih gersang tak berpenghuni.

"Lo tuh cuma sampah disini. Lo tuh cuma orang stress yang suka ngehayal sendiri. Nggak pantes banget lo dapetin dia. Dasar Autis!" Kini gunjingan Frisca membabi buta. Makian dan cacian lancangnya menambah beban benak Ayesha.
"Eh, denger ya, gue nggak level sama cowok lu. Dan jangan asal nuduh ya. Lu asik gue santai, lu usik gue bantai!"

Kembali Ayesha membuatku jantungan. Untuk yang pertama kalinya aku menyaksikan kemarahannya. Dia benar-benar mengamuk bersama kata-katanya yang tidak senonoh. Sepintas ucapannya itu juga mengingatkanku dengan pentolan di SMPku lalu. Apakah tampangnya yang imut jelita itu hanyalah sehelai topeng sebagai penutup jiwa premannya? Apakah iya? Wajah cantik hati pelancang? Atau tepatnya, wajah cantik hati bajingan?

Dan yang paling kutekankan adalah, ketika Frisca menyebut-nyebut Ayesha sebagai orang stress dengan hobi mengkhayal dan menyendiri. Ketika Frisca menyebut-nyebut Ayesha sebagai seorang... Autis!

Itukah yang mengundang dendam pada hati keculnya karna tak terima diberi julukan yang tak mengenakan itu? Jawabannya `iya`. Aku memahaminya ketika Ayesha datang kepadaku dan langsung menyambar tubuhku untuk dipeluknya. Ia menangis pilu dibahuku. Tersedu-sedu dan kali ini lebih mengarukan dari sebelumnya. Sampai-sampai aku ikut menangis bersamanya sebelum kutanyakan apa penyebabnya.

"Kau kenapa lagi, Yesh? Ceritakan kepadaku!"
"Aku pecundang, Ndah. Semua orang bilang aku autis," Ucapnya lirih dengan suara tercekik-pelik.

Ringkikan air matanya menganyutkan rasa simpatiku kedalam perasaannya. Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat untuk menghentikan tangisannya disaat air mataku pun juga tiada hentinya mengalir deras. Perihnya, bukan hanya murid-murid SMK kami yang menganggap Ayesha begitu, tapi semenjak SMP dulu, teman-teman yang membencinya sudah mengatai Ayesha seperti itu terlebih dahulu. Tega sekali mereka memperlakukan Ayesha seperti ini, sampai-sampai Ayesha menganggap dirinya sendiri sebagai pecundang.

Dan ternyata benar, semuanya berawal dari Frisca yang menyebar komentar miring tentang sifat Ayesha. Dari mulut ke mulut Frisca mempengaruhi banyak orang dengan hasutan manisnya yang memanfaatkan ketenarannya disekolah.

Sebab apa ia berlaku licik padahal sudah terbukti Ayesha tidak merampas kekasihnya? Apa karna kecantikannya kalah dengan hadirnya Ayesha disekolah sehingga menenggelamkan reputasi namanya? Apapun alasan yang dimiliki Frisca, aku sama sekali tidak terima dengan perlakuannya. Karena, ulah kurang ajar itu terus berkepanjangan meyiksa sahabatku.

Lebih parahnya disaat beberapa hari setelah kejadian itu. Ayesha berturut-turut absent selama satu minggu. Tidak ada kabar ataupun surat keterangan tidak masuk sekolah. Mengundang rasa khawatirku untuk selalu memikirkannya saat itu.  Berbagai firasat buruk datang menggayut dan menyebabkan rasa tak nyaman dalam nada jantungku. Mengajakku untuk kembali risau, kacau, balau nan galau.

Hingga di hari libur, aku menyempatkan diriku untuk menjenguk Ayesha dengan mampir kerumahnya. Baru dua kali aku berkunjung kesana. Seperti pertama kalinya, aku terpukau kagum memandang seisi halaman rumah Ayesha yang ditumbuhi rumput hijau cerah dan dipenuhi beragam tumbuh-tumbuhan bunga serta mainan taman. Air mancur di tengahnya pun mempercantik bangunan megah rumah tingkatnya. Mataku tiada hentinya bergulir mengisi setiap sudut keindahan harta Ayesha.

Didepan gerbang, aku sudah disambut baik oleh pak Hanaf, pengurus kebun rumah Ayesha. Aku dituntun kedalam rumah, dan selanjutnya aku dijamu oleh bi Elis, pembantu sekaligus pengasuh Ayesha.

"Bi, Ayesha nya ada?"
"Ada. Dia lagi dikamar, kamu langsung saja kekamarnya. Soalnya dari kemarin dia dikamar mulu. Sekalian juga, tolong bujuk dia biar tenang ya."
"Oh gitu ya, Bi. Iya deh aku langsung ke kamarnya."

Aku pun bergegas ke kamar Ayesha. Tak sabar ingin berbagi senyum kepadanya, tak sabar ingin melihat tubuh mungilnya, tak sabar ingin memeluknya untuk melepas rindu setelah satu minggu ia menghilang dari pandanganku. Saking tak sabar, aku langsung membuka pintu kamarnya tanpa mengetuk terlebih dahulu.

"Astaghfirullahaladzim!!"

Terhentak, aku terhenyak. Aku terpaku dengan tangkapan mataku sendiri. Tidak mungkin! Hatiku menjerit melihat Ayesha duduk lemah tanpa daya disudut kamar sambil menahan sehelai silet ditangannya. Aku berteriak histeris melihat kaki kirinya yang penuh luka dan lumuran darah bekas sayatan silet ditangannya itu. Daging dan kulitnya tecabik-cabik sampai membentuk sebuah kata yang jelas terbaca F*CK.

Aku segera menghampirinya dan cepat-cepat kuhentikan aksi gilanya. Beruntung, Ayesha masih hidup!! Seandainya aku tidak buru-buru kekamarnya, mungkin ia sudah memotong nadinya. Dan aku akan kehilangan Ayesha selama-lamanya. Tanpa ragu aku langsung merebut silet tajam itu dan membuangnya jauh-jauh. Kupeluk erat tubuh Ayesha yang hampir hancur dengan kerapuhannya itu.

Aku menangis sunyi. Dadaku seolah terhimpit dua belah tebing tinggi. Rasanya seluruh isi perutku ingin keluar karna muak melihat kebodohannya. Aku benci dengan Ayesha yang seperti ini! Aku paling tak suka dengan kamu yang sekarang, Yesh!

"Ayesha! Kenapa kamu  malah ngancurin diri kamu sendiri!!?"
"Aku rasa, mati itu adalah cara yang tebaik untuk menyelesaikan semua masalahku, Ndah."

Yaa Allah... Seberat inikah penderitaan yang ia rasakan? Begitu dahsyat cobaan mengguncang batinnya, sampai-sampai ia melampiaskan kekesalannya pada dirinya sendiri. Begitu kuat menggempar hingga ia menganggap bahwa dengan bunuh diri ia akan menuntaskan semua permasalahannya. Kini aku mengerti, dan aku sudah memahami begitu dalam tentang dirinya. Ayesha tidak setegar dengan selera musiknya, Ayesha tidak sehebat dengan punk rocknya. Ayesha hanyalah gadis rapuh dengan sejuta harapan-harapan yang siap runtuh untuk membenamkan seluruh mimpi-mimpi indahnya.

"Tapi caramu itu salah, Yesh. Mati bukanlah jalan keluar dari masalah. Mati bukanlah akhir dari kehidupan. Mati adalah awal untuk kehidupan kekal. Kamu masih akan diminta pertanggungjawaban dari semua waktu hidupmu didunia kepada yang menciptakanmu. Ingat, Yesh, kamu masih punya Tuhan. Kamu nggak bisa berdiri sendiri. Mohonlah semua keinginanmu kepada-Nya. Jangan malah berputus asa seperti ini. Buka matamu, Yesh! Masa depanmu masih panjang. Sadarlah! Kenali agamamu lebih dalam! Untuk memberikan jalan terang dalam hidupmu agar kau tak buta arah!" Dengan tegas aku menegurnya. Semoga kata-kataku ini bisa membangunkan pemikirannya dari kegelapan.

Sungguh kasihan. Sedih hati yang mendalam. Keadaannya setelah itu membuat diriku menaruh rasa kasih dan simpatiku yang berlipat-lipat dari sebelumnya. Bercabang-cabang dan berbelah menjadi segenap usahaku untuk merapikan kembali hidup Ayesha yang berantakan.

Dalam solatku, aku menangis haru dengan berjuta rasa syukurku yang tinggi. Diriku beruntung, aku masih diberikan ketentraman hati yang membuat hari-hari yang kujalani selalu terasa nikmat dan menyenangkan. Bermacam-macam sanjungan aku panjatkan, berbagai rupa ibadah aku lakukan. Untuk mengagung-agungkan nama-Nya, yaitu Allah SWT. Tuhan semesta alam.

Mulai saat itu, beragam upaya aku berikan. Setiap hari, aku luangkan waktuku untuk memperhatikan Ayesha. Kuberi perhatian lebih, kuajarkan dia sholat, kubimbing dia dengan secuil pengalamanku yang kudapati itu dari nasihat orang tuaku. Semuanya kujalani dengan penuh ketulusan dan keikhlasan rasa dermaku kepadanya.

Tak lepas dalam do'aku. aku selalu mendoakan sahabatku itu, Ayesha, agar ia cepat pulih dari mimpi buruknya, agar ia bisa cepat merasakan keindahan dunia dengan segala kedamaian didalamnya, dan kembali tersenyum, menatap jauh dinamika kehidupan.

"Ayesha, kamu harus janji, kamu harus berubah."
"Iya, aku janji. Aku bakalan jadi Ayesha yang ceria," Ucapnya dengan senyuman lebar.

***

Rentetan kejadian itulah yang membuat aku bersama Ayesha merasa sangat hangat berjalan di tengah kota malam ini. Namun suasana mendung kali ini membuat Ayesha kembali terbayang akan kesepiannya. Hal yang wajar ketika kegelisahannya kembali hadir mengingat dirinya belum begitu pulih dari masalahnya. Dan itu sudah menjadi keharusan bagiku untuk menemani kesedihannya.

"Hujan mulai turun, Yesh. Ayo kita berteduh!"

Kugait tangan Ayesha dan segera menuju sebuah halte untuk berteduh. Hujan semakin deras, memaksakan para pejalan kaki untuk merentangkan payung mereka ataupun berlari ke setiap tempat yang memiliki atap. Angin turut berhembus kencang, membentuk tirai kabut tebal dan membutakan mata dari pemandangan kota. Membuat suara reruntuhan hujan semakin terdengar nyaring dan kian menakutkan.

"Aku kedinginan, Ndah." Bisiknya sambil menyandarkan kepalanya dibahuku.

Kurangkul erat tubuh Ayesha. Kemudian kukecup lembut keningnya. Lalu tanpa sadar ku tersenyum kecil ke arah hujan. Dan tanpa kuduga Ayesha mengucapkan sepercik kalimat yang membuatku terharu, membuatku layu dan menampilkan butiran air mata kebahagiaan. Setelah seuntai kalimat syahdu melalui telingaku.

"Indah, kasihmu lembut bagaikan bunda."


 ***

Bagaikan bintang buram
Sinarku lenyap ditelan gelapnya malam
Wajahku kelam dilumuri awan hitam
Hidupku sunyi tanpa senyuman bulan

Aku  bintang khayalan
Jiwaku dikutuk penyihir bajingan
Semua angan jauh menghilang
Berganti deraian gemuruh hujan

Aku kedinginan...
Aku tak tahan jadi bintang kesepian
Kuingin jatuh terjun ke permukaan
Dan menggambar jejak percikan api kehancuran
Untuk menyusul keguguranmu

Bunda...
Langkahku perih tanpamu..[]