Langit gelap. Awan hitam berkerumun menutupi cahaya bintang.
Lampu-lampu kota berbelas kasih menyinari jalan. Sekaligus memantulkan
sinarnya di kaca-kaca gedung tinggi. Kunang-kunang jalanan masih setia
menyusuri aspal. Sesekali berdenyit-pekik melalui klaksonnya. Jam kota
berdenting delapan kali. Mengingatkan para pejalan kaki untuk segera
kembali ke sarangnya. Menyadarkan anjing-anjing hitam untuk ganti
bersiaga.
Terkecuali aku dan Ayesha yang masih berjalan di
bawah langit mendung. Melangkah tanpa arah ditengah perbincangan.
Mencari tempat nyaman dan menemukan suasana yang hangat untuk saling
mencurahkan rasa yang tertimbun dihati. Kini giliranku untuk
mendengarkan isi benaknya. Semua yang diceritakannya selalu sama.
Berulang kali ia menjelaskan satu hal itu.
"Indah, aku kesepian," Ucapnya lemah.
Aku
selalu tak tega setiap kali aku mendengar Ayesha berpeluh. Kehidupannya jauh berbeda
dari orang-orang yang seperti biasanya. Penderitaan yang dipikulnya
sejak kecil membuat dirinya memiliki kelainan psikis dan rasa putus asa
yang bergejolak. Jiwanya redup. Itu yang bisa kurasakan ketika aku
pertama kali melihat dirinya. Huft, pikiranku kembali melayang pada
kejadian tak lama itu.
***
Disaat
itu, di hari pertama aku bersekolah di SMK Tunas Bangsa, aku mencoba
berkenalan dengan teman-teman baru di kelas. Kujabati satu persatu orang
disana sambil menerima banyak senyuman yang dilemparkan ke bola mataku.
Terkecuali Ayesha yang hanya berdiam diri di bangkunya dengan pandangan
yang sangat kosong. Aku mencoba menghampirinya, lalu memamerkan sebuah
senyuman lebar.
Ia membalas senyuman ku. Tapi aku
merasakan hal yang lain dari dirinya. Aku merasakan kepahitan dibalik
senyumannya. Tatapan matanya pun lemah tak bergairah, lunglai tanpa
semangat. Disitulah aku merasakan kehancuran dalam dirinya yang terdapat
suasana kekacauan dan berantakan. Menyimpan dendam yang berkepanjangan.
Seolah terdapat api-api yang membakar semua kebahagiaannya.
Hubunganku
dengannya pun tak berkembang begitu baik. Aku selalu kehilangan
kekariban dengan dirinya. Ia selalu menyendiri disetiap harinya.
Wajahnya selalu terlihat murung ditengah lamunannya. Sama sekali tidak
ada keceriaan. Aku sangat prihatin akan keadaannya.
Beberapa
minggu kemudian, aku meniatkan diriku untuk menemani Ayesha dengan
maksud untuk mencoba memberikan hiburan. Mencoba memompa naik
keceriaannya. Tepat disaat jam istirahat, aku menemukan dirinya yang
telah menyendiri dan tengah berdiri memandang atap-atap rumah dari
lantai atas sambil mengenakan earphone setianya. Mataku sudah terasa
basah sebelum menyapanya. Aku tak tahan melihat orang menderita.
"Ayesha!" Aku menyapanya dari belakang sambil mencolek punggungnya.
"Eh.. Indah." Balasnya memanggil namaku.
Aku
menyejajarkan tubuhku dan berdiri disampingnya. Kulihat kembali
senyuman Ayesha yang penuh kepahitan dibaliknya itu. Ah.. Tak apalah.
Yang penting ia merasa senang bersamaku. Yang kini kufokuskan adalah
bagaimana caranya untuk membuatnya tertawa.
"Kamu sedang apa disini? Sendirian lagi.
Apa kamu punya masalah? Maaf kalau sekiranya aku ingin tau urusanmu.
Tapi mungkin aku bisa ngebantu kamu, Yesh." Ucapku dengan suara lunak.
Namun
Ayesha hanya terdiam. Pandangan matanya masih tergeletak diantara atap
dan pepohonan. Aku ikut terdiam cukup lama. Sepertinya aku salah untuk
larut dalam urusannya. Namun aku tak menyerah untuk membuatnya ceria.
Aku akan tetap mencoba untuk memaksanya bergembira.
"Seandainya
kamu punya masalah, kamu harus menceritakan permasalahanmu itu kepada
seseorang. Mungkin orang lain akan ngebantu kamu untuk keluar dari
masalah itu. Kamu nggak boleh tenggelam dalam masalah. Kamu harus bisa
ngelakuin yang terbaik." Aku menyemangati. Kuharap kata-kataku bisa
menjadi sayap pengunggah rasa percaya dirinya.
Namun
upayaku itu kembali sia-sia Ayesha terus membisu. Aku jadi sedikit tak
jenak bila diperlakukan seperti ini. Kuharap aku tidak benar-benar
dianggap sebagai tembok.
"Yesh..Yesh.." Panggilku sambil menepuk-nepuk punggungnya.
"Eh.. Iya, Ndah.. Kenapa? Tadi kamu ngomong apa? Ma..maaf tadi nggak kedengeran soalnya keasyikan dengerin musik."
Gubraakk... Aku menyadari ketololanku. Seharusnya aku merebut sumbatan telinga beserta MP3
nya terlebih dahulu. Kayak orang gila yang berbicara sendiri. Aku malu
mengingatnya. Aku juga malu mengulang kembali perkataanku tadi kepada
Ayesha. Ah, Sudahlah.. Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk
mengetahui kehidupannya. Sesekali mengeles juga tak apa.
"Enggak. Cuma mau tau kamu lagi dengerin musik apa. Boleh kupinjam?" Kataku mengelak
"Boleh. Nih.." Ucapnya lembut sembari mengulurkan earphone nya.
Kuletakan benda itu ditelingaku.
%@$#!@&@#$
"Aikh... Apa ini...!!?"
Aku
langsung mencopotnya dari telingaku. Kupingku pengang dan
mengiang-ngiang cukup kencang. Setelah musik yang kudengar adalah musik 'ROCK'.
Serasa gendang telingaku pecah diterobos oleh teriakan vokal yang
menghancurkan itu. Irama yang tak beraturan pun memporak-porandakan
debaran jantungku.
Ayesha mengakak panjang menontoni
keanehanku yang sedang mengusap-usap telinga. Bahkan tawanya lebih
nyaring daripada yang kupikirkan. Atau bahkan lebih tepatnya
menggelegar. Ajaib sekali. Aku membuatnya tertawa dari unsur ketidak
sengajaan. Dan misi pertamaku berhasil walau ada rasa kesal juga dalam
hati. Dua-kosong, Yesh. Kamu unggul.
"Kamu suka musik rock, Yesh? Nggak salah?" Tanyaku heran.
"Iya aku suka banget. Dan bukan sekedar rock. Tapi punk rock. Semua musik di MP3 ku genrenya punk rock. Kenapa emang, Ndah?"
Aku
menggeleng-geleng hampir pingsan setelah mendengar pengakuan
kecintaannya terhadap musik rock. Baru kali ini aku menemukan perempuan
yang begitu doyan dengan musik serabutan itu. Apalagi wajahnya sangat
cantik. Sangat tidak cocok bagi Ayesha untuk memungut selera itu.
Berbeda
jauh dengan seleraku yang menyukai seriosa. Mana pernah aku secara
sengaja mendengarkan musik jingkrak-jingkrakan dengan
personil-personilnya yang berdandan serba acak-acakan, sekalipun dalam
televisi.
"Emang apa bagusnya sih musik rock itu? Aku sama
sekali enggak menikmatinya. Lagian, itu kan salah satu wujud perilaku
yang enggak sopan. Hampir mirip icon orang yang rumahnya dijalanan."
Ucapku seenaknya. Rasanya aku menyinggung berat para fans Jamrud.
"Punk
rock itu bukan pencerminan ketidak santunan, Yesh. Aku suka punk rock
karna itu sebuah wujud untuk menggambarkan keterbatasan dan
keserbakurangan. Dalam arti lain, Punk Rock adalah sebuah apresiasi
kemiskinan dalam hidup." Ujarnya kepadaku.
Tapi rasanya
aneh. kelihatannya Ayesha bukanlah ciri-ciri orang yang memiliki
keterbatasan dan keserbakurangan. Penampilannya pun juga tak bisa
dibilang selera rendahan. Wajahnya cantik dengan hiasan kosmetik
berkualitas. Rambutnya lurus terawat seperti model bintang iklan sampo.
Black Berry, MP3, sweater distro juga selalu disandangnya. Pikiranku
terus berputar-putar tentang apa miskinnya dia, karna apa dia menyukai
musik rock, dan karna apa dia selalu menyendiri.
Semua
pertanyaan itu mulai terjawab ketika aku sudah satu semester mengenal
dia. Dihari itu, tepat ketika Ayesha berulang tahun. Aku dan Ayesha
membuat perayaan kecil-kecilan dengan makan siang berdua di Mac.
Menyedihkan sekali. Yang ingat hari lahirnya cuma aku.
"Kamu mau kado apa, Yesh? Aku bingung milih kado apa yang cocok buat kamu."
"Ngg.. Apa ya.. Aku juga bingung."
"Sesuatu yang paling kamu inginkan deh."
"Yang kuinginkan ya... Ehm... Aku ingin berbaring di pangkuan ayah dan bunda sambil memandangi langit biru, Ndah."
"Hah..?" Aku terheran. Mataku menyelidik dan mulutku terbuka. Keningku mengerut tak mengerti.
"Maksud kamu apa, Yesh?" Tanyaku lagi.
"Ya.
Aku ingin sekali bisa berkumpul bersama orang tua layaknya kamu yang
masih punya orang tua. Sejak kecil aku udah ditinggal mereka. Aku
yatim-piatu, Ndah."
Aku terhenyak. Dadaku terasa sesak dan
jiwaku tercambuk hebat. Sungguh. Aku merasakan kepedihan mendalam dari
semua kenyataan yang ia terima. Kondisinya memprihatian, cerita hidup
yang selama ini ia jalani selalu berasa pahit tanpa adanya kasih sayang
dari ibu dan ayah.
Ayesha si gadis rapuh selalu merasa
dirinya sebatangkara. Tidak memiliki siapapun dalam keluarganya. Rumah
dan mobil mewah memang Ayesha miliki sekarang. Tapi satu yang belum
pernah ia dapatkan dari salah satu nikmat hidup adalah merasakan cinta
dari orang tua kandungnya sendiri.
Itulah yang membuat
Ayesha tampak murung dan kesepian. Sebuah penderitaan yang ia rasakan
sepanjang hidupnya masih membekas dalam hingga sekarang. Bahkan
penderitaan itu terus merembet dengan timbulnya penderitaan-penderitaan
lain yang selalu berdatangan. Hidup terasa ketir dan hambar. Itu
pengungkapan yang pernah kudengar dari keluhannya.
Dan
dadaku semakin tertusuk ketika aku mengajaknya berhenti sejenak untuk
memenuhi panggilan solat dzuhur diselang waktu jalan-jalan. Saat itu
Ayesha menolak ajakanku dengan wajah penuh malu.
"Aku nggak tau caranya sholat, Ndah."
Rasanya
aku hampir mati mendengar untaian kalimat mencambukan itu. Jantungku
serasa teriris sebilah pedang tajam. Benar-benar memprihatinkan.
Diusianya yang mulai dewasa ini Ayesha masih harus terlelap dalam
gelapnya hidup tanpa agama. Dengan rasa hati yang penuh goresan, aku
menyadari kemiskinan yang ia miliki dalam dirinya. Ia miskin akhlak dan
pendidikan.
Semuanya disebabkan oleh masa kecil Ayesha
yang tidak sempat diberikan tuntunan agama oleh orang tuanya. Hingga
kini ia buta akan pendidikan, jauh dari prinsip kerohanian. Inilah
sebuah kenyataan yang tersirat dibalik cermin. Ia buta meski matanya
melihat, ia miskin meski hartanya melimpah, jiwanya redup meski wajahnya
selalu cantik dengan senyuman manis diantara deretan giginya yang
putih.
Ayesha si gadis berhati kacau dengan kebimbangannya
dalam mencari jalan bersama kegelishan yang kian bermunculan, tidak
selesai sampai disitu. Ia masih menyimpan dendam, sama seperti yang aku
rasakan pada saat pertama kali aku melihatnya. Dan itu aku ketahui
seiring berjalannya waktu aku mengenalnya. Ketika aku semakin dekat
dengannya. Ketika aku menjadi satu-satunya orang yang menjadi sandaran
hangat sebagai wadah tangisannya. Ketika hanya aku sahabat yang
seharusnya selalu setia mendampinginya untuk memadamkan kesedihan dan
mengurangi rasa kesendiriannya. Dari situ aku mulai membaca
kehidupannya.
Disaat itu aku dan Ayesha tengah berjalan
menuju kantin sekolah. Namun langkah kami terhenti ketika beberapa siswi
kelas XII yang menjadi kumpulan dalam salah satu gap yang terkenal akan
personil-personilnya yang cantik menghadang langkah kami. Aku dan
Ayesha pun heran. Tak tahu apa yang sudah dan yang akan terhadi. Melihat
raut wajah dari mereka terpajang garang dan jauh dari ramah.
Ketua
gap yang bernama Frisca itu tiba-tiba merenggut rambut Ayesha dan
menjambaknya. Secara spontan Ayesha meraung kesakitan dan langsung
mengibaskan tangannya.
"Maksud lu apa jambak-jambak gue!!?" Meledak emosi Ayesha menggusar.
"Alaa.. Jangan belagak bego deh lo! Lo udah ngerebut cowo gue juga. Gue ingetin ya, jangan deketin dia atau lo bakalan kena akibatnya." Kecam Frisca dengan bengisnya.
Apa
lagi ini!!? Tiba-tiba saja Ayesha menjadi pelampiasan amukan Frisca.
Dalam hati aku ingin sekali membela Ayesha, sahabatku, yang kini tengah
berada dalam masa sulitnya. Memang, banyak lelaki yang melirik Ayesha,
termasuk Ardi, cowoknya Frisca, ketua ekskul basket di sekolah. Tapi
sungguh, Ayesha sama sekali tidak menghiraukan rayuan mereka. Karena ku
juga tahu, rasa cinta yang Ayesha miliki masih gersang tak berpenghuni.
"Lo
tuh cuma sampah disini. Lo tuh cuma orang stress yang suka ngehayal
sendiri. Nggak pantes banget lo dapetin dia. Dasar Autis!" Kini
gunjingan Frisca membabi buta. Makian dan cacian lancangnya menambah
beban benak Ayesha.
"Eh, denger ya, gue nggak level sama cowok lu. Dan jangan asal nuduh ya. Lu asik gue santai, lu usik gue bantai!"
Kembali
Ayesha membuatku jantungan. Untuk yang pertama kalinya aku menyaksikan
kemarahannya. Dia benar-benar mengamuk bersama kata-katanya yang tidak
senonoh. Sepintas ucapannya itu juga mengingatkanku dengan pentolan di
SMPku lalu. Apakah tampangnya yang imut jelita itu hanyalah sehelai
topeng sebagai penutup jiwa premannya? Apakah iya? Wajah cantik hati
pelancang? Atau tepatnya, wajah cantik hati bajingan?
Dan
yang paling kutekankan adalah, ketika Frisca menyebut-nyebut Ayesha
sebagai orang stress dengan hobi mengkhayal dan menyendiri. Ketika
Frisca menyebut-nyebut Ayesha sebagai seorang... Autis!
Itukah
yang mengundang dendam pada hati keculnya karna tak terima diberi
julukan yang tak mengenakan itu? Jawabannya `iya`. Aku memahaminya
ketika Ayesha datang kepadaku dan langsung menyambar tubuhku untuk
dipeluknya. Ia menangis pilu dibahuku. Tersedu-sedu dan kali ini lebih
mengarukan dari sebelumnya. Sampai-sampai aku ikut menangis bersamanya
sebelum kutanyakan apa penyebabnya.
"Kau kenapa lagi, Yesh? Ceritakan kepadaku!"
"Aku pecundang, Ndah. Semua orang bilang aku autis," Ucapnya lirih dengan suara tercekik-pelik.
Ringkikan
air matanya menganyutkan rasa simpatiku kedalam perasaannya. Aku tak
tahu apa yang harus kuperbuat untuk menghentikan tangisannya disaat air
mataku pun juga tiada hentinya mengalir deras. Perihnya, bukan hanya
murid-murid SMK kami yang menganggap Ayesha begitu, tapi semenjak SMP
dulu, teman-teman yang membencinya sudah mengatai Ayesha seperti itu
terlebih dahulu. Tega sekali mereka memperlakukan Ayesha seperti ini,
sampai-sampai Ayesha menganggap dirinya sendiri sebagai pecundang.
Dan
ternyata benar, semuanya berawal dari Frisca yang menyebar komentar
miring tentang sifat Ayesha. Dari mulut ke mulut Frisca mempengaruhi
banyak orang dengan hasutan manisnya yang memanfaatkan ketenarannya
disekolah.
Sebab apa ia berlaku licik padahal sudah
terbukti Ayesha tidak merampas kekasihnya? Apa karna kecantikannya kalah
dengan hadirnya Ayesha disekolah sehingga menenggelamkan reputasi
namanya? Apapun alasan yang dimiliki Frisca, aku sama sekali tidak
terima dengan perlakuannya. Karena, ulah kurang ajar itu terus
berkepanjangan meyiksa sahabatku.
Lebih parahnya disaat
beberapa hari setelah kejadian itu. Ayesha berturut-turut absent selama
satu minggu. Tidak ada kabar ataupun surat keterangan tidak masuk
sekolah. Mengundang rasa khawatirku untuk selalu memikirkannya saat
itu. Berbagai firasat buruk datang menggayut dan menyebabkan rasa tak
nyaman dalam nada jantungku. Mengajakku untuk kembali risau, kacau,
balau nan galau.
Hingga di hari libur, aku menyempatkan
diriku untuk menjenguk Ayesha dengan mampir kerumahnya. Baru dua kali
aku berkunjung kesana. Seperti pertama kalinya, aku terpukau kagum
memandang seisi halaman rumah Ayesha yang ditumbuhi rumput hijau cerah
dan dipenuhi beragam tumbuh-tumbuhan bunga serta mainan taman. Air
mancur di tengahnya pun mempercantik bangunan megah rumah tingkatnya.
Mataku tiada hentinya bergulir mengisi setiap sudut keindahan harta
Ayesha.
Didepan gerbang, aku sudah disambut baik oleh pak
Hanaf, pengurus kebun rumah Ayesha. Aku dituntun kedalam rumah, dan
selanjutnya aku dijamu oleh bi Elis, pembantu sekaligus pengasuh Ayesha.
"Bi, Ayesha nya ada?"
"Ada.
Dia lagi dikamar, kamu langsung saja kekamarnya. Soalnya dari kemarin
dia dikamar mulu. Sekalian juga, tolong bujuk dia biar tenang ya."
"Oh gitu ya, Bi. Iya deh aku langsung ke kamarnya."
Aku
pun bergegas ke kamar Ayesha. Tak sabar ingin berbagi senyum kepadanya,
tak sabar ingin melihat tubuh mungilnya, tak sabar ingin memeluknya
untuk melepas rindu setelah satu minggu ia menghilang dari pandanganku.
Saking tak sabar, aku langsung membuka pintu kamarnya tanpa mengetuk
terlebih dahulu.
"Astaghfirullahaladzim!!"
Terhentak,
aku terhenyak. Aku terpaku dengan tangkapan mataku sendiri. Tidak
mungkin! Hatiku menjerit melihat Ayesha duduk lemah tanpa daya disudut
kamar sambil menahan sehelai silet ditangannya. Aku berteriak histeris
melihat kaki kirinya yang penuh luka dan lumuran darah bekas sayatan
silet ditangannya itu. Daging dan kulitnya tecabik-cabik sampai
membentuk sebuah kata yang jelas terbaca F*CK.
Aku segera
menghampirinya dan cepat-cepat kuhentikan aksi gilanya. Beruntung,
Ayesha masih hidup!! Seandainya aku tidak buru-buru kekamarnya, mungkin
ia sudah memotong nadinya. Dan aku akan kehilangan Ayesha
selama-lamanya. Tanpa ragu aku langsung merebut silet tajam itu dan
membuangnya jauh-jauh. Kupeluk erat tubuh Ayesha yang hampir hancur
dengan kerapuhannya itu.
Aku menangis sunyi. Dadaku seolah
terhimpit dua belah tebing tinggi. Rasanya seluruh isi perutku ingin
keluar karna muak melihat kebodohannya. Aku benci dengan Ayesha yang
seperti ini! Aku paling tak suka dengan kamu yang sekarang, Yesh!
"Ayesha! Kenapa kamu malah ngancurin diri kamu sendiri!!?"
"Aku rasa, mati itu adalah cara yang tebaik untuk menyelesaikan semua masalahku, Ndah."
Yaa
Allah... Seberat inikah penderitaan yang ia rasakan? Begitu dahsyat
cobaan mengguncang batinnya, sampai-sampai ia melampiaskan kekesalannya
pada dirinya sendiri. Begitu kuat menggempar hingga ia menganggap bahwa
dengan bunuh diri ia akan menuntaskan semua permasalahannya. Kini aku
mengerti, dan aku sudah memahami begitu dalam tentang dirinya. Ayesha
tidak setegar dengan selera musiknya, Ayesha tidak sehebat dengan punk
rocknya. Ayesha hanyalah gadis rapuh dengan sejuta harapan-harapan yang
siap runtuh untuk membenamkan seluruh mimpi-mimpi indahnya.
"Tapi
caramu itu salah, Yesh. Mati bukanlah jalan keluar dari masalah. Mati
bukanlah akhir dari kehidupan. Mati adalah awal untuk kehidupan kekal.
Kamu masih akan diminta pertanggungjawaban dari semua waktu hidupmu
didunia kepada yang menciptakanmu. Ingat, Yesh, kamu masih punya Tuhan.
Kamu nggak bisa berdiri sendiri. Mohonlah semua keinginanmu kepada-Nya.
Jangan malah berputus asa seperti ini. Buka matamu, Yesh! Masa depanmu
masih panjang. Sadarlah! Kenali agamamu lebih dalam! Untuk memberikan
jalan terang dalam hidupmu agar kau tak buta arah!" Dengan tegas aku
menegurnya. Semoga kata-kataku ini bisa membangunkan pemikirannya dari
kegelapan.
Sungguh kasihan. Sedih hati yang mendalam.
Keadaannya setelah itu membuat diriku menaruh rasa kasih dan simpatiku
yang berlipat-lipat dari sebelumnya. Bercabang-cabang dan berbelah
menjadi segenap usahaku untuk merapikan kembali hidup Ayesha yang
berantakan.
Dalam solatku, aku menangis haru dengan
berjuta rasa syukurku yang tinggi. Diriku beruntung, aku masih diberikan
ketentraman hati yang membuat hari-hari yang kujalani selalu terasa
nikmat dan menyenangkan. Bermacam-macam sanjungan aku panjatkan,
berbagai rupa ibadah aku lakukan. Untuk mengagung-agungkan nama-Nya,
yaitu Allah SWT. Tuhan semesta alam.
Mulai saat itu,
beragam upaya aku berikan. Setiap hari, aku luangkan waktuku untuk
memperhatikan Ayesha. Kuberi perhatian lebih, kuajarkan dia sholat,
kubimbing dia dengan secuil pengalamanku yang kudapati itu dari nasihat
orang tuaku. Semuanya kujalani dengan penuh ketulusan dan keikhlasan
rasa dermaku kepadanya.
Tak lepas dalam do'aku. aku selalu
mendoakan sahabatku itu, Ayesha, agar ia cepat pulih dari mimpi
buruknya, agar ia bisa cepat merasakan keindahan dunia dengan segala
kedamaian didalamnya, dan kembali tersenyum, menatap jauh dinamika
kehidupan.
"Ayesha, kamu harus janji, kamu harus berubah."
"Iya, aku janji. Aku bakalan jadi Ayesha yang ceria," Ucapnya dengan senyuman lebar.
***
Rentetan
kejadian itulah yang membuat aku bersama Ayesha merasa sangat hangat
berjalan di tengah kota malam ini. Namun suasana mendung kali ini
membuat Ayesha kembali terbayang akan kesepiannya. Hal yang wajar ketika
kegelisahannya kembali hadir mengingat dirinya belum begitu pulih dari
masalahnya. Dan itu sudah menjadi keharusan bagiku untuk menemani
kesedihannya.
"Hujan mulai turun, Yesh. Ayo kita berteduh!"
Kugait
tangan Ayesha dan segera menuju sebuah halte untuk berteduh. Hujan
semakin deras, memaksakan para pejalan kaki untuk merentangkan payung
mereka ataupun berlari ke setiap tempat yang memiliki atap. Angin turut
berhembus kencang, membentuk tirai kabut tebal dan membutakan mata dari
pemandangan kota. Membuat suara reruntuhan hujan semakin terdengar
nyaring dan kian menakutkan.
"Aku kedinginan, Ndah." Bisiknya sambil menyandarkan kepalanya dibahuku.
Kurangkul
erat tubuh Ayesha. Kemudian kukecup lembut keningnya. Lalu tanpa sadar
ku tersenyum kecil ke arah hujan. Dan tanpa kuduga Ayesha mengucapkan
sepercik kalimat yang membuatku terharu, membuatku layu dan menampilkan
butiran air mata kebahagiaan. Setelah seuntai kalimat syahdu melalui
telingaku.
"Indah, kasihmu lembut bagaikan bunda."
***
Bagaikan bintang buram
Sinarku lenyap ditelan gelapnya malam
Wajahku kelam dilumuri awan hitam
Hidupku sunyi tanpa senyuman bulan
Aku bintang khayalan
Jiwaku dikutuk penyihir bajingan
Semua angan jauh menghilang
Berganti deraian gemuruh hujan
Aku kedinginan...
Aku tak tahan jadi bintang kesepian
Kuingin jatuh terjun ke permukaan
Dan menggambar jejak percikan api kehancuran
Untuk menyusul keguguranmu
Bunda...
Langkahku perih tanpamu..[]